PEKANBARU: Direktur Utama Lembaga Pendidikan Wartawan Pekanbaru Journalist Center (PJC), Drs. Wahyudi EL Panggabean,M.H., mengatakan, standar tertinggi kompetensi seorang wartawan adalah moral wartawan itu sendiri.
“Jadi, jika Anda seorang wartawan bermoral, gak perlu risau jika ada yang menyebut Anda: ‘Wartawan Bodong’, ‘Wartawan Abal-Abal’ atau ‘Wartawan Gadungan’. Abaikan saja,” kata Wahyudi kepada sekelompok Wartawan di kediamannya, Selasa (6/8) malam.
“Tetapi, jika Ada seorang Wartawan yang memang terindikasi melakukan pemerasan, mem-backing bisnis-bisnis illegal. Atau mendukung aktivitas korupsi dengan kedok kerjasama. Apakah masih layak dia menyandang predikat kompeten?” Wahyudi bertanya.
Verifikasi perusahaan pers oleh Dewan Pers, katanya adalah bagian upaya pengawasan yang kewenangnya ada di Pasal 15 UU Pers No.40 Tahun 1999.
Pasal 10 UU Pers itu juga mengharuskan perusahaan pers memberi kesejahteraan kepada karyawan dan wartawannya.
“Nah, itu salah satu aspek urgen dari verifikasi itu,” tegas Hakim Ethik Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) Pekanbaru itu.
Tujuan prioritas verifikasi perusahaan pers oleh Dewan Pers itu, lanjutnya untuk mengantisipasi maraknya pihak-pihak yang terobsesi mendirikan perusahaan pers tanpa dilandasi moral dan integritas.
“Sebagian termotivasi dengan dana-dana publik lewat kontrak kerjasama. Sebagian lagi untuk dijadikan sarana mengemis ke mafia bisnis illegal,” kata mantan Wartawan Majalah FORUM Keadilan, Jakarta itu.
Beberapa tahun belakangan, jelas Wahyudi muncul perusahaan-perusahaan pers secara sporadis di seluruh tanah air.
“Data yang kita peroleh, Riau menempati posisi tertinggi dengan 6.000 media berita on-line. Bayangkan itu,” kata Master Trainer itu.
“Para owner perusahan pers ini, sebagian tidak memiliki skill jurnalisme. Apalagi integritas. Mereka menunggu berita-berita rils untuk dimuat di media mereka dengan imbalan uang ala kadarnya,” tegas Wahyudi.
Kondisi ini kata Wahyudi semakin pelik, manakala
jurnalisme “barbar” bersentuhan dengan kekuasaan korup serta bisnis-bisnis illegal.
Kelihatannya, katanya Dewan Pers juga kewalahan. Kewenangan yang mereka punyai untuk pengawasan terhadap pers hanya sebatas mendata perusahaan pers.
“Dari titik ini, bisa dimaklumi betapa pentingnya verifikasi perusahaan pers itu. Upaya inipun selalu dimainkan,” katanya.
“Media yang saya pimpin juga belum terverifikasi. Makanya saya tidak berani mempekerjakan wartawan, tanpa digaji. Kalau itu dijadikan dasar menyebut saya ‘media abal-abal” yah…silakan aja,” tegasnya.
Wahyudi menyebut, tidak seorang pun di negeri ini memiliki hak memberi label kepada pers dan wartawan tanpa didasari amanah dalam pasal-pasal UU Pers. “Termasuk Dewan Pers,” katanya.
“Apa yang dimaksud wartawan, ketaatan wartawan pada kode moral (ethik) apa tugas dan kewenangan wartawan sampai kepada sanksi pidana terhadap pers, diatur di undang-undang itu,” tegas Wahyudi, Penulis buku-buku jurnalistik itu.
Uji Kompetensi Wartawan (UKW) untuk mengukur moral dan skill jurnalisme seorang wartawan adalah program yang baik.
“Tetapi, di tengah drama bertajuk dekadensi moral yang dipertontonkan pihak-pihak yang merasa sebagai punggawa pers, dengan mengorup dana UKW itu, bagaimana pula?” tanyanya.
Untuk itu, pesan Wahyudi, sesiapa yang memasuki dunia jurnalistik tanpa didasari panggilan nurani, dikhawatiran akan menjadi bercak noda bagi profesi yang mulya ini.
Padahal, jelasnya kewenangan yang mekekat pada profesi wartawan adalah amanah dari setiap warga negara bangsa ini, agar mereka beroleh informasi kebenaran dari buruan wartawan.
Makanya, jika ada pelanggaran moral (ethik) oleh wartawan, katanya, yang dirugikan, sebagai dampaknya, tetap saja masyarakat.
“Karena masyarakat kehilangan informasi atas peristiwa amoral itu,” tegasnya.