Advokat Senior, Armilis Ramaini, S.H., mengukapkan keprihatinannya atas prosesi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang kini tengah berlangsung di sebagian besar daerah di tanah air.
Seyogianya, kata Armilis, prosesi (tahapan-tahapan) Pilkada ini adalah sarana edukasi rakyat tentang nilai-nilai demokrasi dan integritas dalam memilih dan menentukan pemimpin.
Malah, katanya yang dipertonton kepada masyarakat justru prosesi transaksional antara elite partai dengan sekelompok ambisius kekuasaan yang jauh dari figur kompeten dan berintegrtas.
“Situasi ini, benar-benar memprihatinkan. Politik kita ini sudah rusak,” kata Armilis kepada para Pemimpin Redaksi Media Berita On-Line, di Pekanbaru, Rabu (14/8).
Lebih parah lagi, katanya trendy “membayar” & memborong partai-partai agar tidak repot berkompetisi secara sehat dengan Pasangan Calon (Paslon) lain.
Tujuannya, jelas Armilis, dengan system “jalan tol” ini para ambisius, beroleh jalan lebih mulus untuk merebut kekuasaan hanya melawan “Kotak Kosong”.
“Jadi, menurut pandangan saya. Trik politik yang hanya melawan ‘Kotak Kosong’, adalah suatu kesombongan dan arogansi untuk ‘membunuh’ hak-hak demokrasi warga negara yang lain,” tegas Armilis.
“Coba bayangkan, ada Paslon Bupati yang bisa memborong sampai tujuh partai untuk membunuh kesempatan Paslon lain. Uang dari mana yang digunakan untuk itu ya? Apakah partai itu mau gratis?” tanyanya.
Di Riau, lanjut Armilis situasi politik buruk ini, mula menunjukkan “wajahnya”. Ada Paslon Bupati yang dengan bangga atas keberhasilannnya memborong banyak partai.
Mereka tidak menyadari, jelas Armilis, bahwa trik-trik politik “kotor” yang menggunakan dana-dana masyarakat itu, tengah diamati secara saksama, oleh publik.
Memang benar, demikian Armilis, trik politik ambisius ini, lebih dulu melumpuhkan otoritas pers, sebagai salah satu pilar demokrasi.
“Tetapi, ‘kan selalu saja ada wartawan yang masih berpegang pada hati nuraninya? Artinya, selalu ada cara Tuhan untuk memberi teguran agar sebuah kejahatan, terbongkar,” ungkapnya.
Armilis menyebut, eskalasi prosesi “pembodohan” dan “pembohongan” demokrasi ini, seyogianya bisa dieliminasi, andai partai-partai ini, pempertimbangkan aspek kompetensi dan integritas para Paslon.
“Tapi, tampaknya mereka tak butuh itu. Yang kita lihat justru tendensi transaksionalnya lebih menonjol,” katanya.
“Jauh lebih mendingan di era Soeharto. Dari rezim yang kita sebut-sebut sebagai kekuasaan ‘diktator’ itu tidak pernah ada bupati atau gubernur yang tidak berkompeten,” jelas Armilis.
Di sisi lain, menurut analisa Armilis, aroma korupsi yang terus menguat, adalah adagium yang sangat memengeruhi intensitas transaksional di era prosesi Pilkada ini.
Tetapi, apapun dalihnya yang dirugikan, katanya, tetaplah rakyat. Dalam prosesi Pilkada ini, rakyat ada pada posisi: “Sudah Jatuh masih Tertimpa Tangga pula”.
“Dana mereka dikorup, lewat APBD untuk membiayai Pilkada. Kemudian, mereka diminta memilih pemimpin yang mungkin jadi ‘maling’ uang mereka itu,” tandasnya.