BANGKINANG: Kuasa Hukum Koppsa-M, Armilis Ramaini, S.H., meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) segera bertindak, melakukan pengusutan dugaan korupsi dana Rp 140 Miliar oleh pihak PTPN IV Regional III.
Dana yang bersumber dari kredit bank itu, kata Armilis, seyogianya digunakan untuk pembangunan kebun kelapa sawit petani di Siak Hulu.
“Tetapi pihak PTPN sudah mengorup sebagian besar dana itu dengan menjadikan petani dan koperasi (KOPPSA-M) sebagai tumbal,” kata Armilis usai persidangan di PN Bangkinang, Selasa (8/4).
Pernyataan Armilis itu sebenarnya mengacu pada hasil persidangan Selasa (8/4). Dari sidang yang menghadirkan dua orang Saksi: Sediaro Harefa dan Meto Lase terungkap fakta-fakta rekayasa penanaman sampai kepada mark-up pendanaan melalui upah buruh dan pekerja.
Menurut Armilis, nilai mark-up nya mencapai ratuan miliar. “Fakta-fakta persidangan sejauh ini sudah berhasil mengungkap sindikasi dan niat jahat pihak PTPN IV untuk mengorup dana ratusan miliar ini. Makanya, kita meminta KPK segera bertindak,” kata Armilis.
Seperti terungkap di persidangan kemarin (8/4). Kedua Saksi dalam keterangannya menyatakan sewaktu bekerja sebagai tenaga penanam dan perawat kebun oleh PTPN IV telah terjadi mark-up biaya pembangunan kebun.
Parahnya lagi, pembangunan kebun tidak dilaksanakan sesuai standar operasional (SOP). Penanaman sawit dan dilakukan secara asal-asalan.
Dalam sidang yang dipimpin langssung Ketua PN Bangkinang Sony Nugraha itu, Saksi Harefa mengatakan, dia melakukan kerjasama penanaman dan perawatan kebun dari tahun 2005-2014.
Pada waktu penanaman awal, akses jalan menuju lokasi penanaman tidak ada sama sekali. Akibatnya, pengangkutan bibit ke lokasi penanaman dilakukan secara manual.
Dijelaslannya, karena ukuran polibek bibit sawit sangat besar dan beratnya bisa mencapai 50 kg untuk setiap polibek, pekerja terpaksa memecah polibek dan membuang tanah yang ada.
“Setelah polibek dipecah dan tanah dibuang barulah diangkut secara manual dengan cara dipikul,”ujarnya.
Setelah sampai di titik tanam, katanya bibit sawit ditanam tidak sesuai standar penanaman sawit. Penanaman dilakukan dengan membuat lobang tanam dengan cara ditugal.
Padahal, penanaman sawit yang benar dilakukan dengan cara membuat lobang tanam dengan dicangkul. “Bibit yang tinggal bonggol dan pohonnya langsung ditanam dengan cara ditugal. Dan itu tidak sesuai dengan standar penanaman sawit yang berlaku,” kata Harefa.
Penanaman bibit sawit dengan cara memecah polibek dan membuang tanah itu katanya, berdasarkan usulan mandor penanaman yang merupakan karywan PTPN IV.
Sebab, pekerja merasa tidak sanggup melansir bibit karena akses jalan ke lokasi tanam tidak bisa dilewati. Ditambah lagi upah tanam yan sangat rendah dari upah tanam yang berlaku di tempat lain.
Pekerja, kata Harefa terpaksa membelah polibek dan membuang tanah karena tidak sanggup melansir bibit ke lokasi tanam karena akses jalan tidak ada.
“Ditambah lagi upah tanam sangat rendah berkisar antara 1200-1500 per pohon. Padahal di tempat lain upah tanah sudah 5000 per pohon ,” tegasnya.
Parahnya lagi, jelas Harefa, pada waktu pembayaran gaji tidak dilakukan sesuai dengan volume atau beban dan luasan kerja yang dilaksanakan. Pembayaran gaji juga tidak dilakukan memakai kwitansi tetapi hnaya memakai kertas kosong.
Harefa menyebut, pada waktu pembayaan gaji tidak dilakukan sesuai bobot kerja yang kami lakukan. Tetapi angkanya dinaikkan berkali lipat.
Misalnya upah kerja hanya 5 juta tetapi dicantumkan sebesar 15 juta, artinya terjadi penambahan (mark up) biaya pembangunan berkali lipat. “Mark up biaya ini terjadi setiap kali pembayaran gaji,” ujar Harefa.
Harefa menambahkan, karena kondisi jalan yang tidak ada maka perawatan kebun hanya dilakukan di areal pinggir jalan saja. Sedangkan, dibagian belakang kebun tidak terawat sama sekali sehingga menjadi hutan dan semak belukar.
“Perawatan hanya dilakukan pada tanaman sawit dipinggir jalan saja sebanyak 5-7 baris tanaman. Sedangkan dibagian belakang kebun tidak terawat sehingga ditumbuhi kayu mahang dan semak belukar,” katanya.
Senada dengan Harefa, Saksi Meto Lase juga memberikan keterangan serupa. Lase yang bekerja dari tahun 2008 sampai tahun 2022 mengatakan bahwa dia bekerja di area 500.
Di lokasi ini, kata Lase penanaman juga dilakukan tidak sesuai standar penanaman sawit yang baik. Hal ini disebabkan oleh akses jalan yang tidak ada.
“Akibatnya penanaman dilakukan dengan cara membelah polibek dan membuang tanah yang ada. Akibatnya, banyak sawit yang ditanam mati dan kurang baik pertumbuhannya.
“Sawit yang ditanam banyak yang mati atau tidak baik pertumbuhannya, Bahkan dibeberapa blok tanaman menjadi fuso ,” katanya.
Tanaman yang mati katanya memang dilakukan penyisipan tetapi tidak dilakukan secara serentak. Parahnya pada waktu penamanan tidak diberi dolomit untuk menurunkan keasaman tanah.
Pemupukan tanaman dalam rentang waktu 2008-2022 hanya dilakukan sebanyak dua kali. Akibatnya tanaman tidak tumbuh secara normal.
“Idealnya pemupukan sawit dilakukan tiga kali setahun. Tapi tanaman di areal kebun PTPN IV hanya dipupuk sebanyak dua kali selama tahun 2008 sampai tahun 2022,” ujar Lase.
Kondisi kebun mulai membaik sejak Koppsa M dipimpin oleh Antony Hamzah. Karena pada waktu itu, akses jalan sudah baik dan perawatan kebun dilkukan secara intensif.
“Bahkan pada waktu Koppsa M dipimpin Nusirwan, kondisi jalan dan kebun menjadi lebih baik. Hal itu dapat dilihat dari perbaikan kondisi tanaman sawit dan tejadi peningkatan produksi buah,” pungkasnya.(Red)